Oleh: Muhammad Ahyaruddin*
Pasar
modal memiliki peran strategis dalam perkembangan
ekonomi suatu negara. Dengan
adanya pasar modal, individu atau masyarakat memiliki kesempatan untuk
melakukan pemindahan dana dari mereka yang kelebihan dana ke mereka yang
membutuhkannya (Hartono, 2013:1). Pasar modal juga menjadi salah satu sumber
pendanaan bagi perusahaan melalui kegiatan penjualan surat berharga. Surat
berharga yang diperjual-belikan di pasar modal akan direspon oleh investor
dengan melihat berbagai aspek untuk dijadikan pertimbangan keputusan investasi.
Seiring dengan pesatnya
perkembangan investasi di pasar modal, perilaku keuangan sangat berperan
dalam pengambilan keputusan investor. Pengambilan keputusan investasi bagi
investor akan sangat dipengaruhi oleh informasi yang didapat dan pengetahuan
investor tentang investasi tersebut. Keputusan investasi seorang investor
selama ini dilihat dari dua sisi yaitu, (1) sejauh mana keputusan tersebut dapat
memaksimalkan kekayaan (economic factors), dan (2) behavioral
motivation, yaitu keputusan
investasi berdasarkan aspek psikologi investor (Christanti dan Mahastanti,
2011).
Investor yang rasional
biasanya akan cenderung berfikir untuk memaksimalkan kekayaannya dari investasi
yang dilakukan. Sehingga dalam hal ini investor akan mencari informasi sebanyak
mungkin, seperti informasi laporan keuangan perusahaan, kinerja perusahaan, risiko,
keadaan perekonomian, inflasi, suku bunga, dan lain sebagainya. Namun, seiring
dengan berkembangnya ilmu manajemen keuangan khususnya terkait dengan teori
investasi di pasar modal, banyak peneliti melihat terjadi pergeseran
kecenderungan investor dalam menentukan keputusan investasi. Misalnya adalah aspek-aspek
psikologiyang dapat mempengaruhi perilaku investor yang lebih dikenal dengan
konsep behavioral finance
(Suryawijaya, 2003).
Memang dalam kenyataan,
investor tidak selalu berpikir rasional. Para investor di pasar modal sering
kali menunjukkan perilaku irasional dan melakukan tindakan berdasarkan judgment yang jauh menyimpang dari
asumsi rasionalitas (Suryawijaya, 2003). Oleh sebab itu, konsep behavioral finance mulai banyak dikaji
oleh para peneliti dalam melihat perilaku investor di pasar modal.Behavioral
finance berhubungan dengan individu dan cara-cara mengumpulkan dan
menggunakan informasi. Behavioral finance mencoba memahami dan
memprediksi implikasi pasar keuangan yang sistematis dari proses-proses
keputusan psikologis. Disamping itu, behavioral
finance berfokus pada aplikasi prinsip-prinsip ekonomi dan psikologi untuk
peningkatan pembuatan keputusan keuangan (Olsen, 1998).
Dalam paper ini,
penulis mencoba untuk membahas tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
investor berperilaku tidak rasional dalam melakukan investasi maupun merespon
harga saham di pasar modal. Selain itu, beberapa teori keuangan dan juga hasil
penelitian empiris terkait dengan adanya perilaku tidak rasional investor akan
dibahas dalam paper ini.
Behavioral Finance
Dalam dunia investasi
khususnya investasi pada pasar modal, teori tentang perilaku investor menjadi
sangat menarik. Fenomena ini terjadi dalam dunia para investor, dimana banyak
hal yang sulit untuk dijelaskan dan dibuktikan kebenarannya namun terjadi dan terbukti
dalam dunia nyata. Pertentangan dua hal yang berbeda aliran pemahamannya
akhirnya memunculkan perdebatan yang hingga saat ini masih menjadi polemik di
antara kalangan akademisi dan praktisi keuangan. Dalam kaitannya dengan
investasi di pasar modal, sebenarnya ada konsep atau teori yang bisa
menjelaskan fenomena tersebut, yaitu konsep tentang behavioral finance.
Konsep behavioral finance mengatakan bahwa keputusan
investasi yang dilakukan oleh investor lebih mempertimbangkan aspek-aspek
non-ekonomi terutama aspek psikologis yang dapat mempegaruhi perilaku investor.
Hal ini karena investor dalam kenyataannya seringkali melakukan tindakan
berdasarkan judgment dan bertentangan
dengan teori yang selama ini dikemukakan dalam pasar modal tentang asumsi rasionalitas.
Pasar mungkin memberikan reaksi cepat terhadap informasi (seperti yang
disyaratkan dalam Efficient Market
Hypothesis), namun pengaruh reaksi tersebut justru mungkin lebih banyak
dipengaruhi oleh unsur subyektifitas, emosi, dan berbagai faktor psikologis
lainnya (Suryawijaya, 2003).
Konsep behavioral finance mempertimbangkan
berbagai macam jenis investor dalam memandang risiko terkait dengan keputusan
investasi. Menurut Bailard, Biehl & Kaiser (sebuah lembaga investasi di
California, AS) seperti yang dikutip oleh Suryawijaya (2003), ada lima jenis
investor di pasar modal. Kelompok pertama adalah kelompok petualang (adventurers) yang pada umumnya tidak
mempedulikan risiko dan cenderung menyukainya (risk takers). Sehingga mereka cenderung tidak mempedulikan nasehat
para financial advisors karena
berbeda pandangan terhadap risiko. Kelompok kedua adalah kelompok celebrities yang terdiri dari
orang-orang yang selalu ingin tampil, menonjol, dan menjadi pusat perhatian.
Mereka seringkali tidak terlalu peduli pada perhitungan untung-rugi investasi,
asalkan keputusan mereka untuk membeli atau menjual surat berharga dilihat dan
didengar oleh orang banyak. Kelompok ketiga adalah kelompok individualists yang cenderung bekerja
sendiri dan tidak peduli pada keputusan investsi orang lain. Kelompok ini
cenderung menghindari risiko tinggi dan tidak keberatan dengan risiko moderat
serta lebih bersikap rasional. Kelompok keempat adalah kelompok guardians yang merupakan investor yang
lebih “matang”, lebih berpengalaman serta berpengetahuan luas. Kelompok ini
cenderung berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi dan lebih bersifat risk averse. Terakhir adalah kelompok
yang tidak secara tegas dimasukkan dalam kelompok diatas yang lebih dikenal
sebagai kelompok straight arrows.
Kelompok ini kadang-kadang bersifat risk
averse dan kadang-kadang risk takers.
Dilain kesempatan juga bisa bersifat individualists
dan pada waktu yang lain lebih menampakkan sifat follow the crowd.
Berdasarkan berbagai
macam jenis investor tersebut, maka banyak penelitian berusaha untuk
menyelidiki perilaku investor dalam membuat keputusan investasi. Hal inilah
yang kemudian diungkapkan dalam konsep behavioral
finance bahwa banyak investor yang cenderung menyimpang dari asumsi
rasionalitas dan lebih mempertimbangkan aspek-aspek non-ekonomi (aspek psikologis)
dalam membuat keputusan investasi.
Akerlof & Shiller (2009) dalam karya
terbarunya, menggantikan bias
perilaku investor dengan
hipotesis
rasionalitas untuk menjelaskan volatilitas return
saham
dan volume
perdagangan. Mereka secara khusus mempertimbangkan
bahwa
disfungsi ekonomi dan
pasar
keuangan adalah karena kegagalan
investor
untuk mengharapkan pendapatan masa
depan secara rasional dan perilaku return saham. Oleh
sebab itu, mereka
mengatribusikan disfungsi ekonomi sebagai
bias "Animal
Spirits".
Fenomena "Animal Spirits" dapat dipahami
sebagaisebuah perilaku tidak rasional oleh investor. Keynes (1935) dalam bukunya
The General Theory of Employment Interest
and Money, mendefinisikan animal
spirits sebagai “a spontaneous urge
to action rather than inaction”. Berdasarkan definisi tersebut, animal spirits tidak memasukkan
rasionalitas sebagai salah satu komponennya. Akellof dan Shiller (2009)
memperluas definisi Keynes dengan memasukkan confidence, fairness, corruption, money illusion, and stories
sebagai komponen dari animal spirits.
Game Theory
Sebuah teori yang mencoba membangun suatu teori sistematik untuk perilaku rasional manusia dengan memusatkan pada permainan
sebagai ajang tempat orang mempraktikkan rasionalitas mereka adalah Theory of Games and Economic Behavior. Teori tersebut dikembangkan oleh John Von Neumann dan Oskar Morgenstern tahun 1944 (Copeland, 1945). Teori ini menjadi dasar tentang bagaimana cara penggambaran tingkat rasionalitas seseorang
ketika berada pada dua pilihan dalam melakukan penggambilan keputusan.
Mengacu pada teori random
walk yang dikembangkan oleh Maurice Kendall tahun 1953, menyatakan bahwa pola
harga saham tidak dapat diprediksi (unpredictable)
karena bergerak secara acak (random
walk) dan dalam kenyataannya, penggambilan keputusan investasi banyak dipengaruhi oleh psikologis pasar (animal
spirit). Namun, di
sisi lain, muncul teori Efficient
Market Hyphotesis, yang mengatakan bahwa harga saham bergerak secara acak dimana fluktuasi harga saham tergantung pada informasi baru (new information) yang akan diterima,
tetapi informasi tersebut tidak diketahui kapan akan diterimanya sehingga informasi baru dan harga saham itu bersifat unpredictable. Informasi yang
diterima baik bersifat
baik atau buruk juga tidak diketahui. Teori tersebut menjadi dasar pemikiran bahwa harga saham dapat berubah baik karena adanya informasi baru
yang rasional maupun tanpa informasi baru yang irasional,
sehingga perubahan harga tersebut dianggap tidak rasional melainkan lebih kepada emosional, yang disebabkan oleh psikologis massa atau pun animal
spirit. Perubahan harga yang
disebabkan oleh psikologis ataupun emosional selalu mispriced dan akan terkoreksi pada masa berikutnya.
Indikasi dari adanya psikologis pasar ini terjadi karena game theory yaitu adanya dilema tahanan (prisoner dilemma).
Games Theory menjadi dasar pemikiran bahwa pergerakan harga saham terbentuk karena adanya
dilemma tahanan (prisoner dilemma) sebagai determinasi keputusan transaksi saham.
Teori ini mencoba mendeskripsikan bahwa tingkat emosional lebih dominan dari pada tingkat rasionalitas
investor dalam menentukan keputusan jual beli saham. Permasalahan yang dihadapi setiap
investor adalah mempertimbangkan semua keputusan psikologis pasar meskipun pada dasarnya menyadari bahwa isu maupun indikator teknikal tidaklah mencerminkan hal yang
sebenarnya. Namun, ketika merencanakan sebuah keputusan jual beli saham, seorang investor mengalami
dilemma tahanan dan tidak ingin melawan arus pasar jika tidak mau dikatakan sebagai “loser”,
sehingga yang terjadi adalah jika semua menghadapi permasalahan yang sama,
maka harga saham akan bergerak sesuai dengan persepsi yang dinyatakan oleh pasar meskipun tidak selalu benar.
Hasil Riset Empiris tentang Ketidakrasionalan
Investor
Beberapa hasil penelitian
mengungkapkan bahwa investor memiliki kecenderungan untuk menggunakan
psikologisnya dalam merespon harga saham ataupun melakukan investasi di pasar
modal. Hal ini karena banyak peneliti menemukan bahwa dalam kenyataannya
investor tidak selalu bersikap rasional dalam mengambil keputusan investasi. Keputusan
investor cenderung dipegaruhi oleh sifat psikologis yang ada dalam dirinya.
Suryawijaya (2003) mengatakan bahwa salah satu gejala psikologis yang sering
menjangkiti para investor di pasar modal adalah ketakutan akan penyesalan (fear of regret) yang menyebabkan mereka
ragu-ragu dan bertindak tidak rasional. Hal inilah yang kemudian banyak
dipertimbangkan oleh investor dan semakin membawanya menyimpang dari prinsip
rasionalitas.
Beberapa penelitian tentang
psikologi investor misalnya dilakukan oleh Yeh dan Yang (2009), yang meneliti tentang
pengaruh traders’ overconfidence
terhadap perilaku pasar. Hasilnya menunjukkan bahwa overconfidence dapat meningkatkan volatilitas pasar(market volatility), distorsi harga(price distortion), dan volume
perdagangan. Sementara itu, Sheikh dan Riaz (2012) dalam penelitiannya di
Karachi Stock Exchange menemukan hasil yang berbeda bahwa overconfidence tidak berhubungan terhadap volatilitas return
kondisional.
Odean (1998) menguji suatu pasar yang
didalamnya terdapat orang-orang dengan rasa percaya diri yang berlebihan (overconfident). Hasilnya menunjukkan
bahwa percaya diri yang berlebihan (overconfidence)
meningkatkan volume perdagangan yang diharapkan (expected trading volume), meningkatkan kedalaman pasar (market depth), serta menurunkan
utilitas harapan dari pedagang yang terlalu percaya diri (expected utility of overconfident traders).Kemudian Dhoui et al.
(2013) meneliti tentang dampak psikologi investor terhadap pasar saham di Bursa
Efek Perancis. Mereka menguji faktor rational
expectation dan bias perilaku termasuk perilaku animal spirits yaitu: overconfidence,
optimism, dan pessimism terhadap
volume perdagangansaham. Hasilnya menunjukkan bahwa kehadiran investor yang
lebih rasional dan lebih overconfidence
mendorong peningkatan abnormal dalam volume perdagangan, tetapi pengaruh dari
investor yang optimis terhadap volume perdagangan lebih signifikan daripada
investor yang overconfidence. Selain
itu, hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa volume perdagangan lebih
sensitif terhadap optimisme daripada overconfidence,
namun pengaruh pesimisme masih lebih
besar dibandingkan optimisme. Kesimpulannya adalah bahwa investor yang
lebih pesimis memiliki pengaruh yang lebih tinggi terhadap volume perdagangan
dibandingkan dengan investor yang lebih optimis dan lebih overconfident.Hal tersebut mengindikasikan bahwa investor memang
menggunakan psikologinya yang cenderung tidak rasional dalam merespon pasar.
Ciccone (2003) mengatakan bahwa
perilaku dan sentimen investor juga memainkan peran yang sangat penting didalam
pasar modal. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa optimisme dan pesimisme
investor secara khusus tercermin dalam pasar modal. Investor yang pesimis
menganggap bahwa mereka lebih mungkin terkena peristiwa negatif(negative events)dan kurang mungkin
terhadap peristiwa positif (positive
events)dibandingkan orang lain. Keyakinan (beliefs) tersebut menyebabkan meningkatnya perdagangan yang
didorong oleh sikap optimis investor dan sebaliknya menurunkan perdagangan yang
didorong oleh sikap pesimis investor. Begitu juga penelitian yang dilakukan
oleh Iramani dan Bagus (2008), yang mengungkapkan bahwa terdapat enam faktor
yang dapat membentuk perilaku investor dalam melakukan transaksi saham, yaitu
faktor keamanan dan kenyamanan, faktor bias pemikiran, faktor keberanian dalam
menghadapi resiko, faktor kepercayaan diri, faktor interaksi sosial dan emosi,
serta faktor bias penilaian.
Daniel
et al. (1998) juga mengemukakan tentang teori pasar sekuritas underreactions dan overreactions
yang didasarkan pada duabiaspsikologis yaitu:
overconfidence investor tentang presisi informasi pribadi,
dan biased self-attribution yang menyebabkan pergeseran asimetris didalam kepercayaan diri
investor sebagai fungsi dari hasil investasi mereka. Dalam teori tersebut
mengindikasikan bahwa investor bereaksi secara berlebihan (overreact) terhadap sinyal informasi privat dan kurang beraksi (underreact) terhadap sinyal informasi
publik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa return autocorrelations yang positif bisa menghasilkan sebuah
reaksi berlebihan yang berkelanjutan. Selain itu, biasedself-atributionmenambahkanshort-lag autocorrelations yang positif dan short-run
earning "drift",
tetapi menghasilkan korelasi yang negatif antara return masa depan dan kinerja akuntansi serta kinerja pasar saham masa lalu dalam jangka
panjang.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa
dalam kenyataannya, investor bisa menjadi tidak rasional dalam merespon pasar maupun melakukan investasi di
pasar modal. Banyak faktor-faktor yang telah diidentifikasi dalam berbagai
penelitian tentang ketidakrasionalan investor tersebut. Adapun faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut:
-
Faktor psikologis, seperti perilaku overconfidence,
optimisme, pesimisme, dan fear of regret.
Hasil penelitian mengatakan bahwa investor yang overconfidence dapat meningkatkan volume perdagangan yang diharapkan (expected trading volume), meningkatkan
kedalaman pasar (market depth), serta
menurunkan utilitas harapan dari pedagang yang terlalu percaya diri (expected utility of overconfident traders).
Begitu juga dengan sikap optimisme dan pesimisme investor. Investor yang
optimis menganggap bahwa mereka lebih mungkin terkena peristiwa negatif (negative events) dan kurang mungkin
terhadap peristiwa positif (positive
events) dibandingkan orang lain. Keyakinan (beliefs) tersebut menyebabkan meningkatnya perdagangan yang
didorong oleh sikap optimis investor dan sebaliknya menurunkan perdagangan yang
didorong oleh sikap pesimis investor. Ketakutan akan penyesalan (fear of regret) juga dapat menyebabkan
investor ragu-ragu dan bertindak tidak rasional dalam melakukan investasi.
-
Dilema tahanan (prisoner dilemma). Dari
perspektif games theory yang menjadi dasar pemikiran tentang perilaku investor mengatakan bahwa pergerakan harga saham terbentuk karena adanya
dilemma tahanan (prisoner dilemma) sebagai determinasi keputusan transaksi saham. Ketika merencanakan sebuah keputusan jual beli saham,
seorang investor mengalami dilemma
tahanan dan tidak ingin melawan arus pasar jika tidak mau dikatakan sebagai “loser”,
sehingga yang terjadi adalah jika semua menghadapi permasalahan yang sama,
maka harga saham akan bergerak sesuai dengan persepsi yang dinyatakan oleh pasar.
- Perilaku Animal
Spirits.Fenomena "Animal Spirits" dapat dipahami sebagai sebuah
perilaku tidak rasional oleh investor. Keynes (1935) mendefinisikan animal spirits sebagai “a spontaneous urge to action rather than
inaction”. Akerlof & Shiller(2009) mengatakan bahwa terjadinya
disfungsi ekonomi dan pasar keuangan adalah karena kegagalan investor untuk
mengharapkan pendapatan masa depan secara rasional dan perilaku return saham. Disfungsi ekonomi tersebut mereka atribusikan sebagai bias "Animal Spirits".
Daftar Pustaka
Akerlof,
George A. and Robert J. Shiller (2009). Animal
Spirits How Human Psychology Drives the Economy and Why It Matters for Global
Capitalism. Princeton University Press.
Christanti,
Natalia dan Linda Ariany Mahastanti (2011). Faktor-Faktor yang Dipertimbangkan
Investor dalam Melakukan Investasi. Jurnal
manajemen Teori dan Terapan I Tahun 4, Nomor 3.
Ciccone,
Stephen (2003). Does Analyst Optimism Obout Future Earnings Distort Stock
Prices. The Journal of Behavioral
Finance, Vol. 4, No. 2, pp. 59-64.
Copeland, A. H. (1945). Review: Theory of Games and Economic Behavior by John Von Neumann and Oskar Morgenstern. Bull. Amer. Math. Soc. 51 (07): 498–504
Daniel,
Kent et al. (1998). Investor Psychology and Security Market Under- and
Overreactions. The Journal of Finance,
Vol. 53, No. 6, pp. 1839-1885.
Dhaoui,
Abderrazak et al. (2013). The Impact of Investor Psychology on Stock Market:
Evidence From France. Journal of Academic
Research in Economics, Vol. 5, No. 1.
Hartono,
Jogiyanto (2013). Teori Portofolio dan Analisis
Investasi. Edisi Ketujuh. BPFE, Yogyakarta.
Iramani, Rr. dan Dhyka Bagus (2008). Studi Eksplorasi Faktor-Faktor Pembentuk Perilaku Investor Dalam
Transaksi Saham (Studi Perilaku Keuangan). National Conference on Management Research 2008, ISBN: 979-442-242- 8.
Keynes,
John Maynard (1935). The General Theory
of Employment, Interest, and Money.The University of Adelaide Library
Electronic Texts Collection.
Odean,
Terrance (1998). Volume, Volatility, Price, and Profit When All Traders Are
Above Average. The Journal of Finance,
Vol. 53, No. 6, pp. 1887-1934.
Olsen,
Robert A. (1998). Behavioral Finance and Its Implications For Stock-Price
Volatility. Financial Analysts Journal,
Vol. 54, No. 2, pp. 10-18.
Sheikh,
Muhammad Fayyaz and Khalid Riaz (2012). Overconfidence Bias, Trading Volume and
Returns Volatility: Evidence from Pakistan. World
Applied Science Journal 18 (12): 1737-1748.
Suryawijaya,
Marwan Asri (2003). Ketidakrasionalan
Investor di Pasar Modal. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Yeh,
Chia-Hsuan and Chun-Yi Yang (2009). Examining the Effects of Traders’
Overconfidence on Market Behavior. Agent-Based
Approaches in Economic and Social Complex Systems VI: Post-Proceedings of The
AESCS International Workshop 2009, DOI
10.1007/978-4-431-53907.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar