Minggu, 22 Juni 2014

Ketidakrasionalan Investor di Pasar Modal (sebuah kajian literatur)



Oleh: Muhammad Ahyaruddin*

Pasar modal memiliki peran strategis dalam perkembangan ekonomi suatu negara. Dengan adanya pasar modal, individu atau masyarakat memiliki kesempatan untuk melakukan pemindahan dana dari mereka yang kelebihan dana ke mereka yang membutuhkannya (Hartono, 2013:1). Pasar modal juga menjadi salah satu sumber pendanaan bagi perusahaan melalui kegiatan penjualan surat berharga. Surat berharga yang diperjual-belikan di pasar modal akan direspon oleh investor dengan melihat berbagai aspek untuk dijadikan pertimbangan keputusan investasi.
Seiring dengan pesatnya perkembangan investasi di pasar modal, perilaku keuangan sangat berperan dalam pengambilan keputusan investor. Pengambilan keputusan investasi bagi investor akan sangat dipengaruhi oleh informasi yang didapat dan pengetahuan investor tentang investasi tersebut. Keputusan investasi seorang investor selama ini dilihat dari dua sisi yaitu, (1) sejauh mana keputusan tersebut dapat memaksimalkan kekayaan (economic factors), dan (2) behavioral motivation, yaitu keputusan investasi berdasarkan aspek psikologi investor (Christanti dan Mahastanti, 2011).

Investor yang rasional biasanya akan cenderung berfikir untuk memaksimalkan kekayaannya dari investasi yang dilakukan. Sehingga dalam hal ini investor akan mencari informasi sebanyak mungkin, seperti informasi laporan keuangan perusahaan, kinerja perusahaan, risiko, keadaan perekonomian, inflasi, suku bunga, dan lain sebagainya. Namun, seiring dengan berkembangnya ilmu manajemen keuangan khususnya terkait dengan teori investasi di pasar modal, banyak peneliti melihat terjadi pergeseran kecenderungan investor dalam menentukan keputusan investasi. Misalnya adalah aspek-aspek psikologiyang dapat mempengaruhi perilaku investor yang lebih dikenal dengan konsep behavioral finance (Suryawijaya, 2003).
Memang dalam kenyataan, investor tidak selalu berpikir rasional. Para investor di pasar modal sering kali menunjukkan perilaku irasional dan melakukan tindakan berdasarkan judgment yang jauh menyimpang dari asumsi rasionalitas (Suryawijaya, 2003). Oleh sebab itu, konsep behavioral finance mulai banyak dikaji oleh para peneliti dalam melihat perilaku investor di pasar modal.Behavioral finance berhubungan dengan individu dan cara-cara mengumpulkan dan menggunakan informasi. Behavioral finance mencoba memahami dan memprediksi implikasi pasar keuangan yang sistematis dari proses-proses keputusan psikologis. Disamping itu, behavioral finance berfokus pada aplikasi prinsip-prinsip ekonomi dan psikologi untuk peningkatan pembuatan keputusan keuangan (Olsen, 1998).
Dalam paper ini, penulis mencoba untuk membahas tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan investor berperilaku tidak rasional dalam melakukan investasi maupun merespon harga saham di pasar modal. Selain itu, beberapa teori keuangan dan juga hasil penelitian empiris terkait dengan adanya perilaku tidak rasional investor akan dibahas dalam paper ini.

Behavioral Finance
Dalam dunia investasi khususnya investasi pada pasar modal, teori tentang perilaku investor menjadi sangat menarik. Fenomena ini terjadi dalam dunia para investor, dimana banyak hal yang sulit untuk dijelaskan dan dibuktikan kebenarannya namun terjadi dan terbukti dalam dunia nyata. Pertentangan dua hal yang berbeda aliran pemahamannya akhirnya memunculkan perdebatan yang hingga saat ini masih menjadi polemik di antara kalangan akademisi dan praktisi keuangan. Dalam kaitannya dengan investasi di pasar modal, sebenarnya ada konsep atau teori yang bisa menjelaskan fenomena tersebut, yaitu konsep tentang behavioral finance.
Konsep behavioral finance mengatakan bahwa keputusan investasi yang dilakukan oleh investor lebih mempertimbangkan aspek-aspek non-ekonomi terutama aspek psikologis yang dapat mempegaruhi perilaku investor. Hal ini karena investor dalam kenyataannya seringkali melakukan tindakan berdasarkan judgment dan bertentangan dengan teori yang selama ini dikemukakan dalam pasar modal tentang asumsi rasionalitas. Pasar mungkin memberikan reaksi cepat terhadap informasi (seperti yang disyaratkan dalam Efficient Market Hypothesis), namun pengaruh reaksi tersebut justru mungkin lebih banyak dipengaruhi oleh unsur subyektifitas, emosi, dan berbagai faktor psikologis lainnya (Suryawijaya, 2003).
Konsep behavioral finance mempertimbangkan berbagai macam jenis investor dalam memandang risiko terkait dengan keputusan investasi. Menurut Bailard, Biehl & Kaiser (sebuah lembaga investasi di California, AS) seperti yang dikutip oleh Suryawijaya (2003), ada lima jenis investor di pasar modal. Kelompok pertama adalah kelompok petualang (adventurers) yang pada umumnya tidak mempedulikan risiko dan cenderung menyukainya (risk takers). Sehingga mereka cenderung tidak mempedulikan nasehat para financial advisors karena berbeda pandangan terhadap risiko. Kelompok kedua adalah kelompok celebrities yang terdiri dari orang-orang yang selalu ingin tampil, menonjol, dan menjadi pusat perhatian. Mereka seringkali tidak terlalu peduli pada perhitungan untung-rugi investasi, asalkan keputusan mereka untuk membeli atau menjual surat berharga dilihat dan didengar oleh orang banyak. Kelompok ketiga adalah kelompok individualists yang cenderung bekerja sendiri dan tidak peduli pada keputusan investsi orang lain. Kelompok ini cenderung menghindari risiko tinggi dan tidak keberatan dengan risiko moderat serta lebih bersikap rasional. Kelompok keempat adalah kelompok guardians yang merupakan investor yang lebih “matang”, lebih berpengalaman serta berpengetahuan luas. Kelompok ini cenderung berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi dan lebih bersifat risk averse. Terakhir adalah kelompok yang tidak secara tegas dimasukkan dalam kelompok diatas yang lebih dikenal sebagai kelompok straight arrows. Kelompok ini kadang-kadang bersifat risk averse dan kadang-kadang risk takers. Dilain kesempatan juga bisa bersifat individualists dan pada waktu yang lain lebih menampakkan sifat follow the crowd.
Berdasarkan berbagai macam jenis investor tersebut, maka banyak penelitian berusaha untuk menyelidiki perilaku investor dalam membuat keputusan investasi. Hal inilah yang kemudian diungkapkan dalam konsep behavioral finance bahwa banyak investor yang cenderung menyimpang dari asumsi rasionalitas dan lebih mempertimbangkan aspek-aspek non-ekonomi (aspek psikologis) dalam membuat keputusan investasi.
Akerlof & Shiller (2009) dalam karya terbarunya, menggantikan bias perilaku investor dengan hipotesis rasionalitas untuk menjelaskan volatilitas return saham dan volume perdagangan. Mereka secara khusus mempertimbangkan bahwa disfungsi ekonomi dan pasar keuangan adalah karena kegagalan investor untuk mengharapkan pendapatan masa depan secara rasional dan perilaku return saham. Oleh sebab itu, mereka mengatribusikan disfungsi ekonomi sebagai bias "Animal Spirits".
Fenomena "Animal Spirits" dapat dipahami sebagaisebuah perilaku tidak rasional oleh investor. Keynes (1935) dalam bukunya The General Theory of Employment Interest and Money, mendefinisikan animal spirits sebagai “a spontaneous urge to action rather than inaction”. Berdasarkan definisi tersebut, animal spirits tidak memasukkan rasionalitas sebagai salah satu komponennya. Akellof dan Shiller (2009) memperluas definisi Keynes dengan memasukkan confidence, fairness, corruption, money illusion, and stories sebagai komponen dari animal spirits.

Game Theory 
Sebuah teori yang mencoba membangun suatu teori sistematik untuk perilaku rasional manusia dengan memusatkan pada permainan sebagai ajang tempat orang mempraktikkan rasionalitas mereka adalah Theory of Games and Economic Behavior. Teori tersebut dikembangkan  oleh John Von Neumann dan Oskar Morgenstern tahun 1944 (Copeland, 1945). Teori ini menjadi dasar tentang bagaimana cara penggambaran tingkat rasionalitas seseorang ketika berada pada dua pilihan dalam melakukan penggambilan keputusan.
Mengacu pada teori random walk yang dikembangkan oleh Maurice Kendall tahun 1953, menyatakan bahwa pola harga saham tidak dapat diprediksi (unpredictable) karena bergerak secara acak (random walk) dan dalam kenyataannya, penggambilan keputusan investasi banyak dipengaruhi oleh psikologis pasar (animal spirit). Namun, di sisi lain, muncul teori Efficient Market Hyphotesis, yang mengatakan bahwa harga saham bergerak secara acak dimana fluktuasi harga saham tergantung pada informasi baru (new information) yang akan diterima, tetapi informasi tersebut tidak diketahui kapan akan diterimanya sehingga informasi baru dan harga saham itu bersifat unpredictable. Informasi yang diterima baik bersifat baik atau buruk juga tidak diketahui. Teori tersebut menjadi dasar pemikiran bahwa harga saham dapat berubah baik karena adanya informasi baru yang rasional maupun tanpa informasi baru yang irasional, sehingga perubahan harga tersebut dianggap tidak rasional melainkan lebih kepada emosional, yang disebabkan oleh psikologis massa atau pun animal spirit. Perubahan harga yang disebabkan oleh psikologis ataupun emosional selalu mispriced dan akan terkoreksi pada masa berikutnya. Indikasi dari adanya psikologis pasar ini terjadi karena game theory yaitu adanya dilema tahanan (prisoner dilemma).
Games Theory menjadi dasar pemikiran bahwa pergerakan harga saham terbentuk karena adanya dilemma tahanan (prisoner dilemma) sebagai determinasi keputusan transaksi saham. Teori ini mencoba mendeskripsikan bahwa tingkat emosional lebih dominan dari pada tingkat rasionalitas investor dalam menentukan keputusan jual beli saham. Permasalahan yang dihadapi setiap investor adalah mempertimbangkan semua keputusan psikologis pasar meskipun pada dasarnya menyadari bahwa isu maupun indikator teknikal tidaklah mencerminkan hal yang sebenarnya. Namun, ketika merencanakan sebuah keputusan jual beli saham, seorang investor mengalami dilemma tahanan dan tidak ingin melawan arus pasar jika tidak mau dikatakan sebagai “loser”, sehingga yang terjadi adalah jika semua menghadapi permasalahan yang sama, maka harga saham akan bergerak sesuai dengan persepsi yang dinyatakan oleh pasar meskipun tidak selalu benar.

Hasil Riset Empiris tentang Ketidakrasionalan Investor
Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa investor memiliki kecenderungan untuk menggunakan psikologisnya dalam merespon harga saham ataupun melakukan investasi di pasar modal. Hal ini karena banyak peneliti menemukan bahwa dalam kenyataannya investor tidak selalu bersikap rasional dalam mengambil keputusan investasi. Keputusan investor cenderung dipegaruhi oleh sifat psikologis yang ada dalam dirinya. Suryawijaya (2003) mengatakan bahwa salah satu gejala psikologis yang sering menjangkiti para investor di pasar modal adalah ketakutan akan penyesalan (fear of regret) yang menyebabkan mereka ragu-ragu dan bertindak tidak rasional. Hal inilah yang kemudian banyak dipertimbangkan oleh investor dan semakin membawanya menyimpang dari prinsip rasionalitas.
Beberapa penelitian tentang psikologi investor misalnya dilakukan oleh Yeh dan Yang (2009), yang meneliti tentang pengaruh traders’ overconfidence terhadap perilaku pasar. Hasilnya menunjukkan bahwa overconfidence dapat meningkatkan volatilitas pasar(market volatility), distorsi harga(price distortion), dan volume perdagangan. Sementara itu, Sheikh dan Riaz (2012) dalam penelitiannya di Karachi Stock Exchange menemukan hasil yang berbeda bahwa overconfidence tidak berhubungan terhadap volatilitas return kondisional.
Odean (1998) menguji suatu pasar yang didalamnya terdapat orang-orang dengan rasa percaya diri yang berlebihan (overconfident). Hasilnya menunjukkan bahwa percaya diri yang berlebihan (overconfidence) meningkatkan volume perdagangan yang diharapkan (expected trading volume), meningkatkan kedalaman pasar (market depth), serta menurunkan utilitas harapan dari pedagang yang terlalu percaya diri (expected utility of overconfident traders).Kemudian Dhoui et al. (2013) meneliti tentang dampak psikologi investor terhadap pasar saham di Bursa Efek Perancis. Mereka menguji faktor rational expectation dan bias perilaku termasuk perilaku animal spirits yaitu: overconfidence, optimism, dan pessimism terhadap volume perdagangansaham. Hasilnya menunjukkan bahwa kehadiran investor yang lebih rasional dan lebih overconfidence mendorong peningkatan abnormal dalam volume perdagangan, tetapi pengaruh dari investor yang optimis terhadap volume perdagangan lebih signifikan daripada investor yang overconfidence. Selain itu, hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa volume perdagangan lebih sensitif terhadap optimisme daripada overconfidence, namun pengaruh pesimisme masih lebih  besar dibandingkan optimisme. Kesimpulannya adalah bahwa investor yang lebih pesimis memiliki pengaruh yang lebih tinggi terhadap volume perdagangan dibandingkan dengan investor yang lebih optimis dan lebih overconfident.Hal tersebut mengindikasikan bahwa investor memang menggunakan psikologinya yang cenderung tidak rasional dalam merespon pasar.
Ciccone (2003) mengatakan bahwa perilaku dan sentimen investor juga memainkan peran yang sangat penting didalam pasar modal. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa optimisme dan pesimisme investor secara khusus tercermin dalam pasar modal. Investor yang pesimis menganggap bahwa mereka lebih mungkin terkena peristiwa negatif(negative events)dan kurang mungkin terhadap peristiwa positif (positive events)dibandingkan orang lain. Keyakinan (beliefs) tersebut menyebabkan meningkatnya perdagangan yang didorong oleh sikap optimis investor dan sebaliknya menurunkan perdagangan yang didorong oleh sikap pesimis investor. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Iramani dan Bagus (2008), yang mengungkapkan bahwa terdapat enam faktor yang dapat membentuk perilaku investor dalam melakukan transaksi saham, yaitu faktor keamanan dan kenyamanan, faktor bias pemikiran, faktor keberanian dalam menghadapi resiko, faktor kepercayaan diri, faktor interaksi sosial dan emosi, serta faktor bias penilaian.
Daniel et al. (1998) juga mengemukakan tentang teori pasar sekuritas underreactions dan overreactions yang didasarkan pada duabiaspsikologis yaitu: overconfidence investor tentang presisi informasi pribadi, dan biased self-attribution yang menyebabkan pergeseran asimetris didalam kepercayaan diri investor sebagai fungsi dari hasil investasi mereka. Dalam teori tersebut mengindikasikan bahwa investor bereaksi secara berlebihan (overreact) terhadap sinyal informasi privat dan kurang beraksi (underreact) terhadap sinyal informasi publik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa return autocorrelations yang positif bisa menghasilkan sebuah reaksi berlebihan yang berkelanjutan. Selain itu, biasedself-atributionmenambahkanshort-lag autocorrelations yang positif  dan short-run earning "drift", tetapi menghasilkan korelasi yang negatif antara return masa depan dan kinerja akuntansi serta kinerja pasar saham masa lalu dalam jangka panjang.

Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam kenyataannya, investor bisa menjadi tidak rasional dalam  merespon pasar maupun melakukan investasi di pasar modal. Banyak faktor-faktor yang telah diidentifikasi dalam berbagai penelitian tentang ketidakrasionalan investor tersebut. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
-       Faktor psikologis, seperti perilaku overconfidence, optimisme, pesimisme, dan fear of regret. Hasil penelitian mengatakan bahwa investor yang overconfidence dapat meningkatkan volume perdagangan yang diharapkan (expected trading volume), meningkatkan kedalaman pasar (market depth), serta menurunkan utilitas harapan dari pedagang yang terlalu percaya diri (expected utility of overconfident traders). Begitu juga dengan sikap optimisme dan pesimisme investor. Investor yang optimis menganggap bahwa mereka lebih mungkin terkena peristiwa negatif (negative events) dan kurang mungkin terhadap peristiwa positif (positive events) dibandingkan orang lain. Keyakinan (beliefs) tersebut menyebabkan meningkatnya perdagangan yang didorong oleh sikap optimis investor dan sebaliknya menurunkan perdagangan yang didorong oleh sikap pesimis investor. Ketakutan akan penyesalan (fear of regret) juga dapat menyebabkan investor ragu-ragu dan bertindak tidak rasional dalam  melakukan investasi.
-       Dilema tahanan (prisoner dilemma). Dari perspektif games theory yang menjadi dasar pemikiran tentang perilaku investor mengatakan bahwa pergerakan harga saham terbentuk karena adanya dilemma tahanan (prisoner dilemma) sebagai determinasi keputusan transaksi saham. Ketika merencanakan sebuah keputusan jual beli saham, seorang investor mengalami dilemma tahanan dan tidak ingin melawan arus pasar jika tidak mau dikatakan sebagai “loser”, sehingga yang terjadi adalah jika semua menghadapi permasalahan yang sama, maka harga saham akan bergerak sesuai dengan persepsi yang dinyatakan oleh pasar.
-       Perilaku Animal Spirits.Fenomena "Animal Spirits" dapat dipahami sebagai sebuah perilaku tidak rasional oleh investor. Keynes (1935) mendefinisikan animal spirits sebagai “a spontaneous urge to action rather than inaction”. Akerlof & Shiller(2009) mengatakan bahwa terjadinya disfungsi ekonomi dan pasar keuangan adalah karena kegagalan investor untuk mengharapkan pendapatan masa depan secara rasional dan perilaku return saham. Disfungsi ekonomi tersebut mereka atribusikan sebagai bias "Animal Spirits".

*Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Ilmu Akuntansi FEB UGM


Daftar Pustaka

Akerlof, George A. and Robert J. Shiller (2009). Animal Spirits How Human Psychology Drives the Economy and Why It Matters for Global Capitalism. Princeton University Press. 

Christanti, Natalia dan Linda Ariany Mahastanti (2011). Faktor-Faktor yang Dipertimbangkan Investor dalam Melakukan Investasi. Jurnal manajemen Teori dan Terapan I Tahun 4, Nomor 3.

Ciccone, Stephen (2003). Does Analyst Optimism Obout Future Earnings Distort Stock Prices. The Journal of Behavioral Finance, Vol. 4, No. 2, pp. 59-64.

Copeland, A. H. (1945). Review: Theory of Games and Economic Behavior by John Von Neumann and Oskar Morgenstern. Bull. Amer. Math. Soc. 51 (07): 498–504

Daniel, Kent et al. (1998). Investor Psychology and Security Market Under- and Overreactions. The Journal of Finance, Vol. 53, No. 6, pp. 1839-1885.

Dhaoui, Abderrazak et al. (2013). The Impact of Investor Psychology on Stock Market: Evidence From France. Journal of Academic Research in Economics, Vol. 5, No. 1.

Hartono, Jogiyanto (2013). Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi Ketujuh. BPFE, Yogyakarta.

Iramani, Rr. dan Dhyka Bagus (2008). Studi Eksplorasi Faktor-Faktor Pembentuk Perilaku Investor Dalam Transaksi Saham (Studi Perilaku Keuangan). National Conference on Management Research 2008, ISBN: 979-442-242- 8.

Keynes, John Maynard (1935). The General Theory of Employment, Interest, and Money.The University of Adelaide Library Electronic Texts Collection.

Odean, Terrance (1998). Volume, Volatility, Price, and Profit When All Traders Are Above Average. The Journal of Finance, Vol. 53, No. 6, pp. 1887-1934.

Olsen, Robert A. (1998). Behavioral Finance and Its Implications For Stock-Price Volatility. Financial Analysts Journal, Vol. 54, No. 2, pp. 10-18.

Sheikh, Muhammad Fayyaz and Khalid Riaz (2012). Overconfidence Bias, Trading Volume and Returns Volatility: Evidence from Pakistan. World Applied Science Journal 18 (12): 1737-1748.

Suryawijaya, Marwan Asri (2003). Ketidakrasionalan Investor di Pasar Modal. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Yeh, Chia-Hsuan and Chun-Yi Yang (2009). Examining the Effects of Traders’ Overconfidence on Market Behavior. Agent-Based Approaches in Economic and Social Complex Systems VI: Post-Proceedings of The AESCS International Workshop 2009, DOI 10.1007/978-4-431-53907.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar